Jasa konsoltasi Perusahaan/BUMN

Foto saya
Agus Sri Muljoto, Pernah bekerja sebagai tenaga pemasaran PT. Luxindo Raya Surakarta dan sekertaris perusahaan Cv. Warna Widyajati. Entrepreuner

Kamis, 05 September 2013

Value in Use



Hermawan Kartajaya
MarkPlus&Co

Bagaimana rasanya kalau disuruh berjualan lilin? Apa yang akan dilakukan? Mengharapkan orang membeli lebih banyak? Apa harapannya? Mengharapkan penyedia saluran listrik sering-sering memutuskan aliran listrik?

Menjual produk yang sangat bergantung pada kinerja produk lain memang tidak gampang. Kalau kita menjual lilin dan berharap tidak gampang. Kalau kita menjual lilin dan berhadap agar lilin tersebut digunakan hanya pada saat adanya pemutusan aliran listrik, maka akan sangat sulit. Meskipun lilin juga digunakan untuk hal-hal lain, penetrasinya belumlah cukup signifikan.

Fenomena seperti ini mungkin masih banyak terjadi saat kita menjual produk seperti ini. Di Amerika, terdapat seorang anak muda berumur 16 tahun, Mike Kittredge, yang membuat sebuah lilin yang diberikan sebagai hadiah natal untuk sang ibu.

Tidak disangka, idenya yang sederhana tersebut menyebar ke tetangganya. Mau tidak mau, lilin yang semula dibuat hanya untuk iseng akhirnya malah menjadi bahan jualan dan hadiah bagi tetangganya, bukan lagi sekadar sebagai penerang di tengah kegelapan saja.

Dari situ, akhirnya Kittredge merasa bahwa ide ini sebenarnya bisa menjadi sumber bisnis. Tiga tahun kemudian, di umurnya yang masih tergolong ABG, dia lalu menyewa sebuah ruangan sebagai tempat untuk menjual lilin-lilinnya.

Siapa yang menyangka, 30 tahun kemudian, tepatnya pada 1999, perusahaannya yang diberi nama Yankee Candle akhirnya malah go public di New York Stock Exchange. Setiap tahunnya, Yankee menghasilkan 80 juta lilin dengan total penjualan lebih dari US$400 juta.

Saat ini, Yankee yang telah memiliki lebih dari 350 toko bahkan tidak hanya menjadi produsen lilin. Salah satu tokonya justru menjadi objek wisata yang tiap tahunnya disinggahi tidak kurang dari 2,5 juta pengunjung alias menjadi atraksi kedua terlaris.

Yang menarik bagi saya bukan hanya konsep ekspansi dan cara jualnya, seperti menggunakan independent store, e-catalog, dan sebagainya, tetapi bagaimana seorang anak muda bisa membuat lilin berfungsi di luar fungsi dasar dan fungsi utamanya, serta menjualnya dengan margin yang cukup tinggi.

Selain itu, lilin-lilin tersebut bisa dikembangkan pasarnya karena kecerdikan dia membuat produknya sesuai dengan situasi penggunaan, mulai dari untuk urusan tidur, kantor, ruang tamu, ruang makan, minuman, penyejuk ruangan, dan sebagainya. Tak heran jika lilin-lilin Yankee bisa dijual seharga US$40.

Yankee memang tidak tanggung-tanggung. Kalau berniat membuat produk yang unik dengan fungsi spesifik yang lebih memberikan nilai tambah dibandingkan produk lainnya yang hanya memberikan fungsi dasar, harga dan pelayanannya juga harus menunjukkan value added. Value added ini kemudian dapat dikomunikasikan menjadi sebuah value in use yang memang memberikan manfaat bagi pelanggan, berbeda dengan manfaat produk sejenis lainnya.

Menjual lilin yang memiliki value added seperti Yankee tetapi tidak berani mengedukasi pelanggan bagaimana value added yang digunakan bisa menjadi value in use, tentu saja harga lebih yang diberikan akan membuat konsumen ragu dan justru membandingkannya dengan produk sejenis lainnya yang bisa saja lebih murah. Nah, yang juga cukup menarik diamati adalah persaingan di pasar lampu. Kehadiran Megaman yang mencoba melakukan edukasi dan pendekatan fashion memang mencoba melawan arus. Hebat saya, dengan menggunakan analogi kasus Yankee, masuk ke pasar seperti ini tidak boleh tanggung-tanggung.

Kalau hanya mengandalkan harga dengan range menengah-atas tanpa bisa menunjukkan value in use, konsumen di pasar tersebut bisa saja lebih memilih brand. Untuk itu, value added dari Megaman harus bisa dijadikan sebagai value in use.

Proses edukasi yang dijalankan tentu harus berbeda dengan yang dilakukan brand lainnya. Tidak cukup sekedar above dan below the line, tetapi juga beyond the line. Sehingga, unsur-unsur yang unik seperti fashion dapat dengan mudah diterima oleh kalangan dari brand lainnya yang biasanya menggunakan above dan below the line yang justru akan membuat value added kita tidak bisa menjadi value in use.

Salam Hangat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar