Jasa konsoltasi Perusahaan/BUMN

Foto saya
Agus Sri Muljoto, Pernah bekerja sebagai tenaga pemasaran PT. Luxindo Raya Surakarta dan sekertaris perusahaan Cv. Warna Widyajati. Entrepreuner

Rabu, 25 September 2013

SEEING IS BELIEVING



Jika berkunjung ke restoran Jepang, terutama yang menyuguhkan menu Teppanyaki, Anda tidak hanya disuguhi makanan lezat, tetapi juga atraksi bagaimana memproses makanan itu. Para koki yang terampil akan menunjukkan kegesitannya memainkan pisau, memotong daging, mengeprek bawang, menaburkan merica dengan memainkan tempatnya, dan sebagainya. Mereka juga dengan sukarela menjelaskan berbagai bumbu, bahan, serta teknik memasaknya. Anda bisa menyaksikan dengan detail bagaimana memasak daging setengah matang (well done) Itulah yang disebut delivering Customer by showing the service performance.

Dengan menyaksikan proses pemasakan secara langsung, Anda tentunya memperoleh nilai lebih dari masakan yang disajikan. Selain bias menghayati teknik memasak dengan cita rasa tinggi, yang memungkinkan munculnya penghargaan terhadap masakan saji, kita juga akan lebih yakin dengan kualitas masakan. Masakan tidak hanya segar, tapi juga berasal dari bahan-bahan berkualitas tinggi dan dimasak oleh juru masak yang punya keterampilan tinggi, kemudian disajikan di tempat yang bersih dan nyaman.

Berlandaskan prinsip serupa, sejumlah perusahaan yang bergerak dalam industry makanan membuka kunjungan bagi masyarakat untuk menyaksikan langsung proses produksi. Bukankah ada ungkapan, Seeing is believing: melihat berarti percaya? Kunjungan ini cukup ampuh untuk menangkal isu-isu negative yang muncul di masyarakat.

Masih ingatkah Anda pada 1980-an susu Dancow pernah diisukan mengandung lemak babi? Isu yang gempar itu sempat menggoyahkan pabrik susu itu. Untung saja manajemen Dancow cepat tanggap. Bukan mencoba menutup-nutupi, melainkan justru membuka kunjungan masyarakat untuk melihat langsung pemrosesan susu tersebut di pabriknya. Masih segar dalam ingatan kita bagaimana sejumlah ulama diundang untuk mengunjungi pabrik tersebut, dan setelah menyaksikan sendiri, mereka tidak melihat unsur-unsur yang haram pada produk tersebut, lantas secara demonstrative para ulama itu bareng-bareng meminum susu. Maka, hilangkah keragu-raguan masyarakat pada isu negative yang muncul. Hal yang sama juga dilakukan oleh Teh Botol Sosro untuk menepis isu bahwa produknya mengandung bahan pengawet.

Selain untuk menepis isu-isu negative yang muncul, kunjungan ke pabrik (factory visit) juga dimaksud untuk mengedukasi pelanggan agar lebih paham tentang produk yang dihasilkan. Ini bukan hanya menyangkut bahan baku, melainkan juga proses dan tempat produksi. Apakah produknya menggunakan bahan berkualitas tinggi? Bersihkan tempat produksinya? Dan apakah pekerja yang terlibat di dalamnya mengenakan pakaian dengan standar keamanan produksi yang tinggi? Pengamatan yang dilakukan pelanggan pada hal-hal semacam itu akan membentuk persepsi mengenai kualitas produk.

Bersambung...

Senin, 09 September 2013

Jadilah Salesman Yang Mengerti Pemasaran!



Hermawan Kartajaya
MarkPlus&Co

Apa sih yang biasanya dilakukan salesman ketika bertemu calon pelanggan? Saya kira, gambarannya tidak akan jauh dari hal seperti ini. Ketika hendak menemui calon pelanggan, selain mempersiapkan produk itu sendiri, biasanya seorang salesman juga mempersiapkan materi presentasi tentang produk tersebut. Slide-slide presentasi dibuatnya penuh gambar dan berwarna-warni agar mampu memikat calon pelanggan.

Sementara itu, saat presentasi, salesman ini berusaha mencairkan suasana dengan lontaran humor-humor segarnya. Dengan penuh percaya diri, ia berbicara di depan calon pelanggannya, serta menjelaskan sebuah produk atau konsep agar mereka terpikat. Dan, pada saat-saat akhir, ia akan menjawab pertanyaan serta menangani keberatan dari para calon pelanggan tentang produk yang dipresentasikannya.

Ya, Anda semua pasti sudah akrab dengan situasi tersebut, bukan?

Namun, sayangnya, sukses dalam presentasi tidak menjamin sukses dalam penjualan. Kenapa? Karena sering kali yang dipresentasikan para salesmen adalah pendapatnya sediri, yang terkadang tidak memperhatikan apa yang menjadi kebutuhan, keinginan, dan ekspektasi dari pelanggan. Padahal, orang membeli karena alasan mereka sendiri, bukan alas an yang dikemukakan oleh salesman. Karena itu, besar kemungkinan penawaran yang dipresentasikan dengan susah payah, melalui persiapan berminggu-minggu, ternyata tidak mencapai hasil maksimal.

Inilah kekurangan pendekatan penjualan yang terlalu berorientasi terhadap produk (product – centric). Sering kali kita terlalu percaya diri dengan berasumsi bahwa spesifikasi dan fitur produk kita sudah sesuai dengan kebutuhan setiap pelanggan. Semua calon pelanggan dianggap punya masalah yang sama dan dapat diselesaikan dengan solusi yang sama pula.

Padahal, setiap pelanggan tentu saja memiliki kebutuhan dan permasalahan yang unik. Salesman pun dituntut untuk memiliki dasar-dasar pemasaran yang baik; bukan hanya berbekal semangat “maju terus pantang mundur”. Ia bisa kehilangan banyak uang, waktu, dan tenaga. Maka, seperti yang selalu saya bilang, jika ingin menjadi salesman yang baik, jadilah seorang sniper, jangan jadi seorang Rambo.

Wah, apa maksudnya?

Seorang sniper selalu membidik dengan cermat, satu peluru untuk satu sasaran. Sedangkan, seorang Rambo tidak peduli berapa peluru yang dihabiskan. Ia selalu memberondong ke mana saja karena persediaan pelurunya sangat banyak. Jadi, untuk 10 sasaran, misalnya, bisa saja si Rambo ini menghabiskan 50 butir peluru.

Nah, jika sumber daya kita tidak terbatas seperti Rambo tadi, tentunya bukan masalah besar jika kita menghambur-hamburkan uang, waktu, dan tenaga. Namun, pastinya hal ini tidak mungkin, bukan? Seorang pemasar yang baik selalu memperhitungakn semua itu. Jadi, salah besar jika dikatakan bahwa ilmu pemasaran tidak memperhitungkan soal keuangan. Justru sebaliknya, ilmu pemasaran diterapkan untuk mengalokasikan semua sumber daya -termasuk keuangan-secara lebih cermat dan tepat.

Selain itu, salesman kadang hanya berpikir, sudah cukup jika punya produk knowledge. Padahal, salesman yang baik tentunya juga harus punya customer knowledge dan competitor knowledge.

Dalam buku SPIN Selling, Neil Rackham berkata bahwa sales force tidak saja harus dapat mengerti kebutuhan si pembeli, namun juga mesti tahu latar belakang pemicu kebutuhan ini; terutama untuk produk-produk high-value. Pengetahuan ini lalu digunakan untuk “menasihati” pembeli dalam memilih solusi bagi kebutuhannya. Inilah yang disebut orang sebagai Customer-Oriented selling, atau yang juga dikenal dengan Consultative Sales.

Kehadiran teknologi-seperti internet dan telepon seluler pastinya juga akan mengubah fungsi salesman. Mereka akan beralih ke fungsi yang lebih berharga, yaitu fungsi sebagai technical advisor dan relationship manager.

Fungsi salesman sebagai technical advisor tentunya paling kentara pada industry yang produk-produknya rumit dan sulit dimengerti secara teknis, misalnya saja di industri computer, mesin pabrik, serta peralatan berat. Sehingga , perusahaan-perusahaan yang berkecimpung di industry-industri ini banyak melatih tenaga penjualnya menjadi technical advisor yang andal. Semakin tinggi kemampuan teknis si penjual, semakin yakin si calon pembeli pada produk yang ditawarkan.

Sedangkan, fungsi salesman sebagai relationship manager paling terlihat pada industry farmasi etikal. Industri farmasi etikal merupakan suatu industry yang sangat unik karena “pembelinya” merupakan para dokter yang justru lebih memiliki pengetahuan daripada salesman soal produk-produk farmasi. Sehingga, para pembeli ini tentunya tidak lagi perlu bimbingan teknis fungsi-fungsi obatnya sendiri (kecuali tentunya obat jenis baru yang dulunya tidak ada). Penjualan kepada dokter-dokter ini lebih bersifat relationship, di mana para salesmen berlomba-lomba membangun hubungan dengan para dokter yang menjadi target mereka.

Tentunya, tidak semua sales force memiliki kemampuan untuk menjadi seorang technical advisor atau relationship manager. Namun, saya yakin, di antara sales force yang kita miliki, pastilah ada beberapa orang yang punya salah satu atau kedua keahlian itu. Sales force seperti inilah yang harus kita pertahankan dan kembangkan agar mampu memberikan kontribusi yang lebih besar bagi perusahaan kita.

Salam

Kamis, 05 September 2013

Value in Use



Hermawan Kartajaya
MarkPlus&Co

Bagaimana rasanya kalau disuruh berjualan lilin? Apa yang akan dilakukan? Mengharapkan orang membeli lebih banyak? Apa harapannya? Mengharapkan penyedia saluran listrik sering-sering memutuskan aliran listrik?

Menjual produk yang sangat bergantung pada kinerja produk lain memang tidak gampang. Kalau kita menjual lilin dan berharap tidak gampang. Kalau kita menjual lilin dan berhadap agar lilin tersebut digunakan hanya pada saat adanya pemutusan aliran listrik, maka akan sangat sulit. Meskipun lilin juga digunakan untuk hal-hal lain, penetrasinya belumlah cukup signifikan.

Fenomena seperti ini mungkin masih banyak terjadi saat kita menjual produk seperti ini. Di Amerika, terdapat seorang anak muda berumur 16 tahun, Mike Kittredge, yang membuat sebuah lilin yang diberikan sebagai hadiah natal untuk sang ibu.

Tidak disangka, idenya yang sederhana tersebut menyebar ke tetangganya. Mau tidak mau, lilin yang semula dibuat hanya untuk iseng akhirnya malah menjadi bahan jualan dan hadiah bagi tetangganya, bukan lagi sekadar sebagai penerang di tengah kegelapan saja.

Dari situ, akhirnya Kittredge merasa bahwa ide ini sebenarnya bisa menjadi sumber bisnis. Tiga tahun kemudian, di umurnya yang masih tergolong ABG, dia lalu menyewa sebuah ruangan sebagai tempat untuk menjual lilin-lilinnya.

Siapa yang menyangka, 30 tahun kemudian, tepatnya pada 1999, perusahaannya yang diberi nama Yankee Candle akhirnya malah go public di New York Stock Exchange. Setiap tahunnya, Yankee menghasilkan 80 juta lilin dengan total penjualan lebih dari US$400 juta.

Saat ini, Yankee yang telah memiliki lebih dari 350 toko bahkan tidak hanya menjadi produsen lilin. Salah satu tokonya justru menjadi objek wisata yang tiap tahunnya disinggahi tidak kurang dari 2,5 juta pengunjung alias menjadi atraksi kedua terlaris.

Yang menarik bagi saya bukan hanya konsep ekspansi dan cara jualnya, seperti menggunakan independent store, e-catalog, dan sebagainya, tetapi bagaimana seorang anak muda bisa membuat lilin berfungsi di luar fungsi dasar dan fungsi utamanya, serta menjualnya dengan margin yang cukup tinggi.

Selain itu, lilin-lilin tersebut bisa dikembangkan pasarnya karena kecerdikan dia membuat produknya sesuai dengan situasi penggunaan, mulai dari untuk urusan tidur, kantor, ruang tamu, ruang makan, minuman, penyejuk ruangan, dan sebagainya. Tak heran jika lilin-lilin Yankee bisa dijual seharga US$40.

Yankee memang tidak tanggung-tanggung. Kalau berniat membuat produk yang unik dengan fungsi spesifik yang lebih memberikan nilai tambah dibandingkan produk lainnya yang hanya memberikan fungsi dasar, harga dan pelayanannya juga harus menunjukkan value added. Value added ini kemudian dapat dikomunikasikan menjadi sebuah value in use yang memang memberikan manfaat bagi pelanggan, berbeda dengan manfaat produk sejenis lainnya.

Menjual lilin yang memiliki value added seperti Yankee tetapi tidak berani mengedukasi pelanggan bagaimana value added yang digunakan bisa menjadi value in use, tentu saja harga lebih yang diberikan akan membuat konsumen ragu dan justru membandingkannya dengan produk sejenis lainnya yang bisa saja lebih murah. Nah, yang juga cukup menarik diamati adalah persaingan di pasar lampu. Kehadiran Megaman yang mencoba melakukan edukasi dan pendekatan fashion memang mencoba melawan arus. Hebat saya, dengan menggunakan analogi kasus Yankee, masuk ke pasar seperti ini tidak boleh tanggung-tanggung.

Kalau hanya mengandalkan harga dengan range menengah-atas tanpa bisa menunjukkan value in use, konsumen di pasar tersebut bisa saja lebih memilih brand. Untuk itu, value added dari Megaman harus bisa dijadikan sebagai value in use.

Proses edukasi yang dijalankan tentu harus berbeda dengan yang dilakukan brand lainnya. Tidak cukup sekedar above dan below the line, tetapi juga beyond the line. Sehingga, unsur-unsur yang unik seperti fashion dapat dengan mudah diterima oleh kalangan dari brand lainnya yang biasanya menggunakan above dan below the line yang justru akan membuat value added kita tidak bisa menjadi value in use.

Salam Hangat

Senin, 02 September 2013

Layanan




Hermawan Kartajaya
MarkPlus&Co

Dalam salah satu acara “Siasat” di ANteve, saya kedatangan tamu istimewa: Profesor Rustam Didong dan Abdulgani. Rustam saat itu datang sebagai wakil Sekolah Tinggi Ekonomi keuangan dan Perbankan Indonesia (STEKPI). Abdulgani, selain Ketua Program Bidang Akademis di STEKPI, saat itu juga kita kenal sebagai Direktur Utama Garuda Indonesia. Selain itu, Abdulgani dulu adalah seorang bankir dan pernah menjadi Direktur Utama Bank Duta.

Acara malam itu menyampaikan suatu pelajaran yang terkait dengan salah satu dari Sembilan elemen inti pemasaran. Kebetulan yang saya bahas adalah servis, dengan penekanan pada service quality. Suatu topik yang bisa jadi belum dipahami dengan baik oleh banyak orang, karena banyak orang menganggap kualitas layanan itu sekadar sebagai keramahan.

Kalau orang berbicara tentang kualitas layanan yang bagus, yang sering dijadikan contoh adalah Singapore Airlines. Kemudian, yang banyak diceritakan dan diingat orang adalah keramahan pramugari-pramugarinya, yang bisa menyebut dengan tepat nama para penumpang dan juga bias menyapa lewat senyum secara tulus. Sehingga, banyak penumpang yang merasa |di-orang-kan| itu begitu terkesan, kemudian memutuskan untuk menjadi pelanggan loyal Singapore Airlines.

Cerita itu tidaklah salah. Tapi, ada sejumlah hal penting yang tidak terungkap dalam cerita tersebut, yang sebetulnya menentukan puas atau tidaknya seorang penumpang. Mulai dari check-in, ketepatan waktu jam berangkat, suasana kabin pesawat, hingga panduan dan layanan yang diberikan selama dalam perjalanan; semuanya berjalan nyaris sempurna, tak kurang suatu suatu apa pun. Dan karena dilakukan secara konsisten, akhirnya tampak sebagai suatu hal yang biasa. Lain halnya dengan sapaan sang pramugarai itu.

Salam Hangat.

Minggu, 01 September 2013

Customers Are Our Children


Hermawan Kartajaya
MarkPlus&Co

Selama melayani pelanggan, Anda pasti pernah menerima complain dari mereka, bukan? Apalagi bagi Anda yang bertugas di frontline, complain pelanggan ini adalah [makanan sehari-hari]. Kadang complain mereka memang beralasan, kadang sama sekali tidak jelas apa alasannya. Nah, hal terakhir inilah yang pastinya sering bikin Anda merasa kesal.

Namun, ada satu cerita menarik yang saya dapatkan ketika saya terbang naik Garuda Indonesia dari Jakarta ke Singapura baru-baru ini. Saat itu, saya sempat ngobrol-ngobrol dengan salah seorang karyawan senior Garuda Indonesia. Ia bilang bahwa selama sekitar 24 tahun bekerja, ia tidak pernah merasa susah atau stress menghadapi complain para penumpang itu.

Padahal, apa yang dialaminya sebenarnya juga sama saja. Misalnya saja ketika terjadi cuaca buruk yang mengakibatkan penerbangan tertunda. Atau ketika sebuah pesawat mengalami kerusakan sehingga penumpang terpaksa dipindahkan ke pesawat lain. Saat itu, hampir semua penumpang menyampaikan complain kepadanya walaupun sudah dijelaskan alasan-alasannya.

Karena penasaran, saya pun bertanya, mosok nggak pernah merasa susah sama sekali? Dia menjawab, selama 24 tahun bekerja, ia selalu menganggap para penumpang seperti anaknya sendiri yang masih kecil, yang sedang butuh-butuhya perhatian dari orangtuanya. Kalau lagi rewel atau ngambek, ya mesti dibelai dan dikasih senyuman; bukannya malah dikerasi, sebab nanti ia bakal tambah rewel.

Begitu pula penumpang. Kalau lagi ngamuk-ngamuk tanpa alasan yang jelas, modalnya ya inggih-inggih saja (menerima semua komplainnya|peny.). Komentar mereka jangan pernah dimasukkan ke dalam hati agar kita tidak menjadi bertambah stres.

Jadi, melayani harus dengan hati, dan haruslah selalu bias mengendalikan emosi. Jika tidak ingin stress dalam menghadapi beragam ulah penumpang, modalnya ya cuma satu: harus sering mengalah.

Cara kita menanggapi complain pelanggan ini akan sangat menentukan citra kita: apakah pelanggan ini akan akan terus menjadi pelanggan kita atau tidak; terutama bagi yang bergerak di bisnis jasa, seperti garuda Indonesia. Kita harus tahu, kenapa pelanggan complain kepada kita. Dengarkan dengan penuh perhatian ketika mereka complain.

Nah, lalu bagaimana jika pelanggan marah-marah tanpa alasan? Kita harus tetap tenang dan sopan. Saya yakin, pastilah pelanggan itu lama-lama juga akan sungkan kepada kita. Dan yang lebih penting, jangan biarkan pelanggan menunggu, karena jika pelanggan menunggu, maka mood-nya akan semakin jelek.

Kisah Garuda Indonesia ini mengingatkan saya akan pengalaman ketika saya mengunjungi Hamburger University milik McDonald`s di pinggiran kota Chicago, Amerika Serikat, beberapa tahun lalu.

Hamburger University adalah pusat pelatihan manajemen McDonald`s untuk seluruh dunia. Terus-terang, saya tidak menyangka, ternyata tempat yang sering ditulis di buku-buku teks pemasaran ini dipersiapkan dengan sangat serius, baik materi pengajaran maupun fasilitasnya. Areanya sangat luas, belasan ruang kuliah dan satu ruang auditorium besar. Padahal, ketika didirikan pada 1961, Hamburger University ini hanya berlokasi di basement salah satu restoran McDonald`s.

Seiring dengan makin pesatnya bisnis McDoald`s tak heran jika saat ini lebih dari 5.000 orang dari berbagai penjuru dunia mengikuti pelatiha di Hamburger University ini setiap tahunnya.

Di sini, seluruh pewaralaba (franchisees) McDonald`s dari seluruh dunia diharuskan mengikuti pelatihan selama tiga minggu. Mereka terutama diajari tentang Quality, Service, Cleanliness, dan Value (QSCV) yang menjadi core principles dari McDonald`s. Dan, di sini pun mereka harus melayani pelanggan sungguhan yang sengaja dipanggil di sinipun mereka harus melayani pelanggan sungguhan yang sengaja dipanggil untuk elihat hasil pelatihan terhadap para mahasiswa Hambuger University ini.

Nah, seperti Anda tahu, sebagian besar pelanggan McDonald`s adalah anak-anak kecil. Mereka ini sangatlah rewel, suka nuntut, dan kadang keinginannya sulit ditebak. Dan, di sinilah para mahasiswa Hamburger University tersebut dilatih agar terbiasa menghadapi sikap pelanggan yang seperti itu.

Bisa kita lihat, dengan system pelayanan berstandar tinggi, merek McDonald`s akhirnya memiliki karisma tersendiri. Para pelanggan itu sesungguhnya membeli merek McDonald`s-nya| termasuk pelayanan, kebersihan, dan kualitas| bukan hamburgernya saja.

Jadi, siapa pun pelanggan Anda-orang tua maupun anak kecil | sebenarnya mereka adalah |anak-anak| Anda sendiri. Perlakukanlah dan sayangilah mereka layaknya anak-anak Anda sendiri. Jika kita terus memperlakukan pelanggan kita dengan baik | apa pun sikap pelanggan kepada kita| lambat laun mereka pun akan bersikap sopan dan hormat kepada kita. []

Salam Hangat.